Travel

Nasi Jangkrik, Menu Masakan Favorit Sunan Kudus

Nasi jangkrik sebagai kuliner khas Kudus belum terlalu populer.

Tidak sepopuler kuliner khas Kudus lainnya seperti soto Kudus, sate kerbau, lentog Tanjung, dan opor Sunggingan.

Namun bagi masyarakat Kudus, kuliner nasi jangkrik sebenarnya tidak terlalu asing di telinga.

Menu nasi jangkrik sudah lama eksis, bahkan diyakini sebagai menu favorit Sunan Kudus.

Juga sajian kegemaran Kyai Telingsing—tokoh penyiar Islam di Kudus yang semasa dengan Sunan Kudus.

Masyarakat Kudus mengenal nasi jangkrik karena menu ini dijadikan sebagai hidangan yang dibagikan secara gratis kepada masyarakat saat puncak tradisi buka luwur atau pelepasan kain selubung makam Sunan Kudus yang diadakan pada setiap tanggal 10 Muharram (Asyura).

Luwur sendiri adalah kain kelambu atau selubung penutup makam.

Dalam tradisi buka luwur, luwur makam Sunan Kudus yang lama diganti baru.

Dan pembagian nasi jangkrik menjadi salah satu bagian dalam tradisi buka luwur yang masih terus dilestarikan hingga kini.

Tujuan pembagian nasi jangkrik sendiri adalah dalam rangka menumbuhkan rasa saling berbagi terhadap sesama, terutama kepada yang membutuhkan.

Bahan-bahan untuk mengolah nasi jangkrik berasal dari sumbangan masyarakat, baik dalam bentuk kerbau, kambing, beras, dan lainnya.

Pengolahan nasi jangkrik juga melibatkan sukarelawan, atau biasa disebut dengan istilah perewang, yang jumlahnya mencapai lebih dari 1000 perewang.

Sehingga boleh dibilang, tradisi buka luwur dengan pembagian nasi jangkrik merupakan aksi sosial dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.

Tak jelas sejak kapan pembagian nasi jangkrik itu menjadi salah satu bagian dalam tradisi buka luwur makam Sunan Kudus.

Namun, banyak yang menginformasikan, pembagian nasi jangkrik sudah berlangsung sangat lama—yang tetap dilestarikan hingga kini.

Biasanya, saat puncak tradisi buka luwur tersebut, masyarakat antre di kompleks Menara Kudus untuk mendapatkan nasi jangkrik.

Ribuan bungkus nasi jangkrik dibagikan yang jumlahnya bisa mencapai 30-an ribu bungkus—sebelum pandemi COVID-19.

Dulu, menu nasi jangkrik hanya bisa dijumpai saat tradisi buka luwur makam Sunan Kudus.

Namun, saat ini, menu itu dapat dijumpai setiap hari.

Meski belum banyak, ada angkringan dan kedai di Kudus yang menyediakan menu nasi jangkrik.

Salah satunya adalah sebuah kedai di Pusat Kuliner Menara Kudus, Waroeng Kita, yang berada di pojok perempatan Sucen atau terletak kurang lebih 450 meter sebelah utara Menara Kudus.

Pusat Kuliner Waroeng Kita konsepnya serupa food court yang di dalamnya ada sejumlah gerai yang menyajikan pelbagai kuliner Nusantara—tidak hanya kuliner lokal Kudus.

Ada soto Lamongan, nasi kebuli, sate Padang, rendang, rawon, tengkleng, sate kambing, sate ayam, sate taichan, nasi gandul, dan banyak lagi.

Adapun untuk kuliner khas Kudus, selain pecel pakis, ada nasi jangkrik.

Soal nasi jangkrik, jangan mengira bahwa di dalamnya ada serangga jangkriknya.

Nasi jangkrik hanya istilah saja untuk menyebut menu warisan Sunan Kudus itu.

Seperti nasi kucing khas angkringan dan HIK ala Yogyakarta dan Solo—yang di dalamnya tidak mengandung daging kucing.

Nasi jangkrik terdiri dari nasi dengan lauk olahan daging kerbau yang dipotong dadu.

Dalam seporsi nasi jangkrik terdiri dari nasi putih, olahan daging kerbau, tahu, ada juga yang ditambah krecek, dengan kuah bersantan nyemek—sekedar basah, dengan cita rasa gurih.

Cita rasa pedasnya berasal dari sambal yang biasa dijadikan pelengkap dalam nasi jangkrik.

Dalam penyajian nasi jangkrik, mempertahankan kearifan ekologis dengan menggunakan bungkus atau lemek daun jati—seperti dalam pembagian nasi jangkrik pada tradisi buka luwur makam Sunan Kudus.

Selain memiliki makna kesederhanaan, juga daun jati menambah khas aroma nasi hingga secara psikologis dapat mendongkrak nafsu makan karena masakan terasa lebih sedap.

Nama nasi jangkrik tergolong unik dan nyentrik, sehingga memantik tanya tentang asal-usul penamaannya.

Namun, tak ada data yang secara valid dapat dirujuk terkait asal-usul di balik kata “jangkrik” yang menjadi nama bagi menu warisan Sunan Kudus ini.

Dari cerita tutur yang populer, nama jangkrik sudah digunakan oleh Sunan Kudus semasa hidupnya.

Dikisahkan, suatu hari, Sunan Kudus dan Kyai Telingsing berkumpul di bangunan tajug Menara Kudus bersama dengan para wali lainnya.

Sementara istri Sunan Kudus menyiapkan sebuah masakan—yang sekarang populer dengan nama nasi jangkrik—sebagai sajian untuk perkumpulan tersebut.

Ternyata, kelezatan hidangan tersebut dirasakan oleh para wali yang hadir pada perkumpulan tersebut.

Sehingga di sela menyantap hidangan itu, ada terdengar suara celetukan—sebuah sumber menyebutkan, konon celetukan itu datang dari Kyai Telingsing.

“Jangkrik, masakan apa iki, kok enake pol,” demikian kira-kira bunyi celetukan itu, yang artinya “Jangkrik, masakan apa ini, kok enak sekali.” Bagi masyarakat Jawa, kata “jangkrik” biasa dijadikan untuk mengekspresikan sesuatu—semacam pisuhan (makian) tapi lebih halus dan cenderung positif—sebagai penghangat suasana.

Celetukan Kyai Telingsing sendiri memiliki arti pujian akan kelezatan masakan hasil olahan istri Sunan Kudus yang sedang disantapnya.

Dari situlah, konon nama nasi jangkrik berasal.

Versi lain menyebutkan, penamaan nasi jangkrik berasal dari bawang goreng yang ditaburkan di atas nasi jangkrik.

Sekilas bawang goreng itu bentuknya mirip bulu jangkrik—berwarna mengkilap kecoklatan, sehingga dari situlah kemudian konon masakan itu dinamakan nasi jangkrik.

Badiatul Muchlisin Ati Tulisan ini telah dimuat di TelusuRI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *